Aku duduk terdiam mendengar penjelasan Dosen di kelas, waktu yang sudah menunjukkan matahari terbenam membuatku makin sadar betapa lelahnya aku dan ingin menyudahi pelajaran Ekonometrika ini tetapi apa daya aku hanyalah seorang mahasiswa, bukan seorang berkepentingan yang bisa seenaknya. Sembari menunggu aku pun masuk ke duniaku sendiri
Sudah satu tahun aku menjalani hidup perkuliahan ini dan sampai saat ini aku menjalani dengan rutinitas yang normal, hanya makan, kuliah, kosan, tidur, ulang. Aku sadar betul hidupku membosankan tapi aku tidak punya niat untuk merubahnya. Menurutku sendiri, memang beginilah diriku, seseorang yang mengikuti aliran kehidupan. Bahkan alasan aku masuk Fakultas Ekonomi pun karena kebetulan nilaiku tinggi di pelajaran ekonomi jadi aku pilih yang menurutku paling aman saat pertama kali memilih perguruan tinggi dan akhirnya disinilah aku sekarang mendengar ajaran-ajaran tanpa dosen layaknya robot yang hanya menyerap informasi tanpa mencoba beraksi.
“Yak, sekian sesi kuliah hari ini, kita akan ketemu lagi minggu depan. Sampai jumpa semuanya” ucap dosen ekonometrika menyudahi materi untuk minggu ini.
Aku membereskan buku catatanku dan bersiap-siap untuk pulang. Ketika ku hendak keluar, ada seseorang yang menepuk pundakku
“Hey Tony, Makan dulu yuk. Gua lapar nihh” ucap orang yang menepuk pundakku yang tidak lain adalah salah satu temanku di kelas ekonometrika ini. Dia adalah seseorang dari jakarta yang cukup terkenal di fakultasku karena gayanya yang friendly dan dengan gampang masuk ke lingkaran percakapan orang-orang disini. Dia juga orang yang cukup gaul, selalu up to date dengan keadaan-keadaan di sekitar kampus. Wajarlah kalo dia dikenal dan banyak disuka oleh orang-orang kampus.
“Thanks riki, tapi gua udah capek so gua mau tidur di kos habis ini” balasku tidak tertarik dengan ajakan dia. Aku tidak bohong, aku memang benar-benar capek setelah mengikuti 3 sesi pelajaran di hari yang sama dan sekarang aku ingin sekali merebahkan badanku di kasur.
“Ayolah, gua malas nihh makan sendiri. Yang lain pada sibuk ngurusin kegiatan mereka makanya gua mau ngajak lu, lagian lu juga lebih pengen kalo makan gak ngegrup kan ?”
“Urghh, gua gak suka cara ngomong lu tentang gua… emang bener sih gua lebih nyaman makan sama orang-orang yang udah gua kenal dekat cuman untuk kali ini gua gak bisa ikut rik, gua beneran capek”
Yaa, riki adalah salah satu dari beberapa teman yang kukenal dekat di kampus ini, dialah yang pertama kali untuk mencoba berteman denganku (mungkin memang sudah menjadi hobinya untuk mencari teman dengan kepribadian dia yang seperti itu). Berkat dia pula sebenarnya aku bisa kenal dengan beberapa teman-teman yang lainnya, mengingat kepribadianku yang sangat pasif.
“Tchhh… huhh okelahh kalo gitu gua coba keliling-keliling cari orang buat diajak makan dulu” jawab riki menyerah membujukku
“Lu suka banget yak bikin ribet acara makan doang… well, makasih yak udah ngajakin”
Sembari membelakangi riki, Aku melambaikan tanganku dan langsung keluar dari ruangan.
“Hmm? Ya..ya sama-sama”Aku berjalan kaki menuju kos-ku. Sambil berjalan, aku kembali merenung tentang kehidupanku lagi. Melihat temanku, riki, aku sebenarnya merasa bersyukur dia mencoba menjadi teman yang baik dengan mengajakku untuk makan bareng tapi di sisi lain aku juga iri dengan dia dan kepribadiannya yang bertolak belakang denganku. Dia adalah orang yang aktif dan memiliki passion yang tinggi dalam bidang manajemen, dia selalu memikirkan cara dan berinovasi untuk membuat ide bisnis yang bagus, selain itu kepribadiannya yang ceria membuat hampir semua orang senang berbicara dengan dia karena dia selalu membuat orang-orang di dekatnya tertawa. Aku dan dia bagaikan yin dan yang dimana dia yang diberkahi dengan cahaya sedangkan aku diselimuti dengan kegelapan.
‘Huhh… gak ada gunanya iri kepada dia, dia juga gak pernah punya maksud untuk nyombongin diri ini’ pikirku
Beberapa meter sebelum mencapai kosku aku melihat seorang wanita yang nampaknya seumuran denganku, memakai baju yang lusuh seperti sudah dipakai berhari-hari dan celana yang robek-robek. Wanita itu sedang duduk di kursi perpustakaan kecil yang kebetulan berada di dekat kosku.
‘… dia lagi baca apa kayaknya tebal banget’ pikirku
Dia menarik perhatianku karena pakaian yang ia pakai dan aktivitas yang sedang ia lakukan adalah sesuatu yang sangat jarang aku lihat. Merasa penasaran dengan apa yang dia baca aku coba mendekat ke arah dia dan mengintip judul buku yang ia baca
Wealth of nation by Adam Smith
Suatu pilihan yang sangat menarik untuk dibaca, aku pun makin penasaran dengan wanita itu. Akhirnya aku berpura-pura membaca buku dan duduk di samping dia.
Selang beberapa menit aku mulai berbicara
“Bacaanya menarik juga mbak, itu wealth of nation by adam smith kan?” tanyaku untuk membuka pembicaraan, untungnya dia mendengar perkataanku dan membalas dengan senyuman kecil
“Iyaa mas, benar tebakan mas, mas membaca buku ini juga?”
“Yahhh, saya pernah baca sekilas tentang untuk referensi tugas ekonomiku… oiya kalo boleh tau, kamu tertarik tentang apanya di dalam buku ini?”
“Hmm alasan utamanya mungkin karena buku ini menurutku adalah salah satu dari buku-buku yang mempelopori ekonomi modern jadi aku pingin tau asal muasalnya mas”
Setelah sedikit mengetahui alasan dia membaca buku itu, aku memutuskan untuk mencoba melanjutkan percakapan
“Hmm, mbak suka banget nih kayaknya sama ilmu ekonomi”
“Yahh, cita-cita saya memang ingin menjadi ekonom mas. walau saya tidak kuliah, setidaknya saya ingin mempunyai pengetahuan seperti ekonom-ekonom di indonesia mas… tadi mas bilang tugas ekonomi, Mas mahasiswa ilmu ekonomi bukan?”
“betul mbakk saya mahasiswa ilmu ekonomi semester 3”
“Wahh, kalo boleh tau sudah membahas apa saja?”
Setelah mengetahui kalau aku adalah mahasiswa ilmu ekonomi, muka dia terlihat semangat. Nampaknya dia senang bisa berbicara dengan anak-anak ilmu ekonomi, mungkin baginya aku adalah sumber informasi terbaru yang harus dia dapatkan. Terlihat jelas bahwa dia memang wanita yang mencintai ilmu ekonomi. Melihat itu, aku mencoba menjawab seserius mungkin.
“Yahh aku sudah mempelajari mikro & makro ekonomi, metode quantitatif, mathematika ekonomi, dan ekonometrik… sejujurnya aku kelelahan menghadapi pelajaran-pelajaran ini dan pada dasarnya aku tidak terlalu tertarik dengan ilmu ekonomi jadi maaf mengecewakanmu soal ini” aku mengatakan hal yang berada di pikiranku, daripada berbohong dan melanjutkan percakapan yang malah membuatku kelihatan tidak tertarik, lebih baik aku jujur. Sekilas aku melihat ekspresi kecewa di mukanya tetapi langsung tergantikan dengan senyumnya lagi
“Ahh… maaf aku pikir mas orang-orang yang tertarik dengan ilmu ekonomi juga jadi aku terlalu semangat…” ucap dia sedikit malu
“Tidak apa-apa, wajar kalau kamu berpikir begitu” balasku
“Tapi mas, kalo boleh jujur saya pingin banget kuliah di jurusan ilmu ekonomi, untuk meraih cita-cita saya sebagai ekonom… tapi jangankan uang buat kuliah, buat makan saja terkadang susah, makanya saya rajin ke sini, setidaknya dengan membaca buku-buku di sini aku berharap bisa seperti mahasiswa-mahasiswa lain mas”
Hatiku serasa tertusuk mendengar penyataan wanita di sebelahku ini, bahkan dengan kondisinya yang serba susah, dia tetap berusaha untuk mencari ilmu untuk menggapai cita-citanya. Dia dengan tekun dan tanpa mengeluh membaca buku yang ada di sini. Setelah berpikir sejenak, aku menanyakan pertanyaan ke terakhir ke wanita itu
“kamu tekun sekali mengejar impianmu… tetapi kalo boleh tau lagi nih kenapa kamu pingin menjadi ekonom?”
“Aku hanya ingin mencoba membuat indonesia dengan ekonomi yang lebih baik mas, dimana kebijakan-kebijakan yang dibuat bisa membuat sejahtera rakyat-rakyat kecil seperti saya dan tidak hanya fokus kepada pemegang uang saja. Aku harap ketika aku bisa menjadi ekonom aku mampu mengatasi kemiskinan yang ada di indonesia ini…” jawab wanita itu dengan setulus mungkin. Tersirat ekspresi malu di mukanya, mungkin karena dia baru mengungkapkan alasan dibalik cita-citanya kepada orang yang baru dikenal. Tetapi, terlihat jelas matanya penuh keyakinan. Dia benar-benar jujur terhadap perkataanya. Aku tersenyum kecil melihat keyakinan dia dengan cita-citanya dan memutuskan untuk memberi dia sesuatu
“Hmm, kalo begitu mbak boleh tunggu sebentar gak di sini, saya mau bawa beberapa buku saya ke sini” ucapku sembari berdiri dan melangkah menuju arah kosku
“Ehh, aku gak apa-apa mas nunggu disini tapi mas mau ngapain ambil buku?” tanya dia keheranan
“Tunggu bentar aja, nanti saya kasih tau pas udah saya bawa bukunya” balasku lagi
Aku lalu bergegas pergi ke kosku. Sesampainya di kosku aku langsung mencari buku-bukuku yang sudah tidak kupakai, setelah mengumpulkan beberapa buku aku lari kembali ke perpustakaan kecil dan menemui wanita itu.
“well, kamu katanya tertarik banget kan dengan ilmu ekonomi, aku punya beberapa buku yang sudah terlantar di kosku dan aku rasa akan lebih pantas untuk menyerahkan buku-buku ini ke orang-orang dengan semangat yang tinggi seperti kamu”
Sembari berbicara. Aku menaruh kardus berisi buku-bukuku di sebelah wanita itu. Wanita itu hanya bisa diam seribu bahasa dengan ekspresi heran campur senang ketika aku memberikan bukuku kepada dia
“tapi mass, apa gak sayang bukunya dikasih ke saya… kita saja baru bertemu lohh… dan saya yakin bukunya masih berguna buat mas nanti” Tanya dia sedikit ragu menerima hadiahku
“gak usahh khawatir mbak, saya hanya merasa buku-buku saya akan lebih berguna jika dipakai mbak ketimbang dipakai saya. Saya hanyalah orang yang tak mempunyai ambisi dan hanya mengikuti aliran hidup disini, tetapi mbakk adalah orang yang mau melawan nasib dan memikirkan keadaan orang lain. Jelas betul ke siapa buku ini akan lebih berguna”
“…”
“well, kalau saya boleh beropini aku rasa kamu lebih pantas mengikuti kuliah dibanding aku, dengan begitu kamu bisa satu langkah lebih dekat menggapai cita-citamu. Kalau aku… aku merasa hanyalah satu dari sekian banyak lainnya yang ketika meninggalkan dunia ini tidak membawa perubahan apa-apa. Hanyalah sampah yang bisa kamu temukan di pinggir jalan”
Aku tersenyum kecut ketika menjelaskan tentang diriku. Aku sendiri tidak paham kenapa aku mengatakan semua ini kepada orang yang aku kenal. Mungkin alasan utamanya karena dia adalah orang yang jauh lebih baik daripada aku…
“jika mas berkata begitu… baiklah dengan senang hati saya menerima buku-bukumu Tapi!… mas harus tau kalo mas bukanlah sampah, mas mampu membawa perubahan, buktinya mas ingin saya berhasil menggapai cita-cita saya kan dengan memberi buku ini? Saya akan berusaha menggapai cita-cita saya dan membuktikan bahwa mas mampu melakukan perubahan”
Dia menjawab dengan penuh keyakinan lagi, seakan-akan dia akan bisa membuktikan hal yang dia ucapkan. Aku merasa saat ini dia penuh dengan sinar yang mungkin bisa membakar mataku tapi entah kenapa aku merasa hangat melihat sinar itu.
“yahh… aku berharap setidaknya kamu beneran bisa meraih cita-citamu… demi aku juga”
Hanya itu yang bisa kukatakan, dengan senyum kecilku yang terlihat kembali aku mengatakan apa yang ada di dalam hatiku
“ngomong-ngomong aku belum tau namamu sejak awal kita bicara, namamu siapa?” tanyaku lagi
“bunga mas, kalo mas sendiri?”
“tony mbak, okelah kalo begitu bunga, aku harap seperti katamu kita bisa membuat perubahan dan aku sendiri akan mencoba untuk membuat perubahan itu sendiri. Terima kasih untuk kata-kata semangatmu” ucapku sambil mengarahkan tanganku ke depan dia
“sama-sama mas Tony, aku juga berterima kasih untuk buku-buku yang mas berikan, aku akan merawat ini sebaik mungkin… oiya saya sering ada disini jadi jika melihatku sapa saja yak” balas dia yang mengarahkan tangannya kedepan juga
“tentu saja! Sampai ketemu besok-besok lagi yak”
Kami berdua pun berjabat tangan. Setelah itu aku balik lagi ke kosanku untuk melakukan tujuan awalku: Tidur.
Esoknya aku langsung pergi ke kampus dan mencari temanku, riki. Begitu aku melihatnya di kelas aku menyapanya
“Riki, gua butuh bantuan lu, tolong ajarin gua semua hal yang lu mengerti tentang jurusan kita dong, ohh dan lu tau gak tempat-tempat yang menerima lowongan kerja?”
“Err… gua sih gak masalah ngajarin lu dan memang iya gua punya kenalan yang lagi buka lowongan kerja, cuman… lu kenapa tiba-tiba nanya kayak ginian, lu sakit?”
Riki melihatku keheranan, mungkin karena sikapku yang tiba-tiba aktif. Yahh, aku gak bisa nyangkal kalau sikapku mungkin sangat berbeda dibanding yang sebelumnya. Pada akhirnya aku hanya bisa tersenyum kecil.
“Gua sehat, gak usah khawatir rik, malah bisa dibilang gua lebih sehat dari sebelumnya. Hmm… mungkin bisa dibilang ada bunga-bunga yang tumbuh di jiwaku untuk membuatku lebih aktif”
Yaa… aku hanya mencoba merubah diriku sedikit… sehingga setidaknya aku pantas mencoba membantu dia, melihat dia duduk di bangku kampus, dan mungkin berdiskusi tentang ilmu yang kita pelajari sembari melihat dia tersenyum. Untuk mencapai itu aku akan mencoba melakukan perubahan di diriku, sebuah perubahan kecil.